Friday, April 4, 2008

Kawin Cai, Pernikahannya Air

Warga Desa Manis Kidul dan Babakan Mulya di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat punya cara khusus untuk menghargai air sebagai sumber kehidupan. Yakni melalui ritual tahunan kawin cai.

Inti ritual ini mengawinkan air dari 7 sumur mata air Cibulan dengan mata air Balon Dhalem Tirtayatra yang berjarak sekitar 5 kilometer. 7 sumur di mata air Cibulan dilambangkan sebagai pengantin laki-laki. Sementara mata air Balon Dhalem disimbulkan sebagai mempelai perempuan.

Sebelum pengambilan air di 7 sumur keramat, dilakukan dulu pembacaan doa di depan petilasan Prabu Siliwangi agar acara kawin cai berjalan lancar.

Satu persatu para sesepuh Desa Manis Kidul mengambil air dari 7 sumur keramat. Masing-masing sumur punya nama khusus, seperti sumber kejayaan, kemuliaan, pengabulan, deranjana, cisadane, kemudahan dan sumur keselamatan.

Konon ke 7 sumur itu merupakan peninggalan Prabu Siliwangi usai bertapa meminta air kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi warga sekitar, air dari 7 sumur ini mengandung berkah dan dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit.

Di kolam pemandian Cibulan yang kini jadi tempat wisata ini juga terdapat ikan dengan spesis khusus yakni ikan Kancra Bodas yang dikeramatkan warga. Ikan yang bernama latin Cyprinus carpio ini disebut pula sebagai ikan dewa.

Usai penyatuan 7 air sumur keramat, biasanya hujan langsung turun. Percaya atau tidak, sekitar satu menit kemudian hujan mulai membasahi bumi.

Tapi prosesi kawain cai belum selesai. Air 7 sumur diarak ke mata air Balon Dhalem di Desa Babakan Mulia. Bak menyambut mempelai pria, upacara dan tarian khusus digelar.

Acara puncak ritual kawin cai pun tiba. Air dari 7 sumur keramat Cibulan ditumpahkan ke sumber mata air Balon Dhalem Tirtayata. Perkawinan yang disimbulkan dengan penyatuan mata air dari dua desa tersebut merupakan perwujudan doa dan harapan warga agar air tetap mengalir deras.

Bukan hanya itu aparat desa yang mengurusi masalah air turut dimandikan. Diiringi harapan mereka bisa melaksanakan tugas pengaturan air dengan baik. Selanjutnya yang tak kalah seru, ketika warga berebut sisa air keramat tersebut.

Upaya menjaga sumber mata air ini juga ditandai dengan penanaman pohon. Sejatinya, tradisi kawin cai ini adalah salah satu bentuk apresiasi warga Kuningan, Jawa Barat dalam melestarikan lingkungan. Sambil syukuran makan bersama usai prosesi kawin cai, ada harapan warga dijauhkan dari bencana kekeringan. (Helmi Azahari/Sup)

Thursday, October 4, 2007

BRSUD'45 Membentuk Tim Operasi Ketupat

KUNINGAN, (PR).-
Istilah operasi ketupat bukan hanya dimonopoli jajaran kepolisian, menyusul Badan Rumah Sakit Umum Daerah (BRSUD)'45 Kuningan juga membentuk tim operasi ketupat pelayanan RSU sepanjang satu pekan setelah Lebaran dengan lebih ditekankan kepada peningkatan pelayanan gawat darurat.

Hal itu disampaikan Kepala BRSUD'45 Kuningan, dr. H. M. Afif Kosasih, M.Kes., melalui ketua tim operasi ketupat pelayanan RSU dr. H. Herman Joyo didampingi Wakil ketua tim, dr. Hj. Titin Suhartini di BRSUD' 45, Kamis (4/10). Menurut Herman, rapat pembentukan tim operasi Ketupat yang melibatkan seluruh bagian dan tenaga medis berlangsung Rabu lalu di Aula BRSUD'45.

Sesuai hasil rapat tersebut menetapkan, tim operasi ketupat pelayanan BRSUD'45 akan berlangsung sejak Jumat (12/10) hingga Sabtu (20/10) mendatang dengan meningkatkan pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD), rawat jalan dan rawat inap.

Disebutkan, tim operasi ketupat BRSUD'45 sendiri akan terfokus kepada peningkatan pelayanan gawat darurat karena kasus kecelakaan lalu lintas pada arus mudik sulit dihindari sehingga kerap mengalami peningkatan dan pihak rumah sakit pun harus sigap dalam menanganinya.

Di samping terfokus terhadap gawat darurat, tim juga tetap konsentrasi terhadap pelayanan medis lainnya, seperti pada kasus-kasus penyakit dalam maupun penyakit ISPA. Untuk penyakit dalam, lanjut Herman, BRSUD menyediakan poliklinik umum dengan menggunakan dua ruangan penyakit dalam yang penggunaan dan pelayanan medisnya akan digabungkan menjadi satu kesatuan. (A-146)***

Tuesday, October 2, 2007

Tradisi ”Maleman” di Keraton Kasepuhan

SEMERBAK aroma wangi ukup (semacam wewangian alami) tiba-tiba menyergap begitu "PR" memasuki bangsal pergelaran yang berada di areal paling belakang kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, Selasa (2/10) pagi.

Sekelompok ibu-ibu famili Keraton Kasepuhan terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tidak terdengar celotehan khas ibu-ibu saat berkumpul. Masing-masing seperti asyik dengan kegiatannya. Ada yang memasukkan minyak maleman dalam botol dan ada yang memasukkan ukup dalam guci-guci keramik kuno yang berusia ratusan tahun. Sementara sebagian lainnya sibuk memilin kapas, membentuk sumbu sepanjang hampir 30 cm.

Menurut R.A.S. Syarifa Isye, istri putra mahkota P.R.A. Arief Natadiningrat, S.E., saat meracik ukup dan minyak maleman serta memasukkannya ke wadah guci dan botol. Mereka memang lebih banyak melantunkan selawat Nabi dalam hati masing-masing.

"Tradisi meracik ukup dan minyak maleman seperti ini kan sarat makna religius, sehingga kami pun melaksanakan kegiatan ini dengan semestinya yakni dengan dibarengi membaca doa, zikir, dan selawat," ujar Isye yang kebetulan kebagian mengikat guci-guci keramik itu dengan rumput yang sudah dikeringkan.

Menurut Isye, minyak maleman, ukup, dan pilinan kapas itu merupakan bagian dari perangkat ritual atau tradisi maleman. Tradisi maleman, menurut dia, adalah tradisi untuk menyambut malam Lailatulqadar yang menurut kajian ulama jatuh pada malam sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan.

Bagi umat Islam, mendapatkan malam Lailatulqadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan merupakan impian seumur hidup. Tidak semua Muslim bisa mendapat malam yang disebut oleh Allah SWT sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Dalam surat Al-Qadr 1-5, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran pada malam Lailatulqadar, tahukah engkau apakah malam Lailatulqadar itu? Malam Lailatulqadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala urusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar."

Menurut putra mahkota Arief Natadiningrat yang juga anggota DPD, begitu pentingnya arti mendapat malam Lailatulqadar bagi umat Islam, sampai wali Allah, Sunan Gunung Djati berupaya mengejawantahkan malam penuh rahmat tersebut dalam simbol-simbol penuh makna.

"Pada sepuluh hari terakhir, terutama pada malam-malam ganjil yang disebut banyak ulama sebagai malam Lailatulqadar, Sunan Gunung Djati menyalakan dlepak dengan minyak maleman dan membakar ukup. Tradisi itulah yang kemudian turun-temurun sampai saat ini," katanya.

Dlepak adalah wadah berupa piring dari tembikar yang diisi minyak maleman untuk menyalakan sumbu dari kapas yang sudah dipilin. Minyak maleman adalah minyak kelapa yang digodok kembali dengan tambahan kembang tujuh rupa untuk memberikan efek aroma harum.

Sedangkan ukup adalah wewangian semacam dupa yang dibuat dari campuran pohon cendana, akar wangi, gula merah, sejumlah rumput kering, dan rempah-rempah. Untuk membakarnya, ukup cukup ditebarkan di atas bara api yang biasanya dinyalakan dalam tungku.

Menurut Arief, seperti halnya tradisi lainnya, tradisi maleman yang ditandai dengan penyalaan dlepak dan pembakaran ukup, juga sarat simbol dan makna filosofis.

Makna yang ingin disampaikan dengan penyalaan dlepak yakni turunnya rahmat Allah SWT sudah seharusnya disambut dengan persiapan fisik dan batin.

Suasana yang terang benderang dan wangi menggambarkan makna kesiapan rohani yang terang dan bersih dalam menerima rahmat Allah. "Diharapkan dengan hati yang bersih dan terang, sebagai manusia kita bisa menebarkan keharuman atau manfaat kepada banyak orang," kata Arief.

Tradisi maleman akan diakhiri dengan hajat maleman pada malam ke-29 bersamaan dengan tradisi khataman kedua di langgar alit. ”Pada saat itulah akan dibagikan makanan alakadarnya yang disebut nasi bogana atau saboga-bogana kepada warga sekitar keraton dan makam Sunan Gunung Djati," kata Arief.

Selain di lingkungan Keraton Kasepuhan, dlepak dan ukup serta minyak maleman didistribusikan juga ke makam Sunan Gunung Djati dan 16 situs peninggalan Kesultanan Kasepuhan yang berlokasi di sekitar Cirebon.

Rombongan juru kunci yang membawa perangkat tradisi itu rela berjalan kaki sejauh 10 km dari Keraton Kasepuhan menuju makam Sunan Gunung Djati. (Ani Nunung/"PR")***

Menteri PU Minta Bantuan Polri Cairkan Macet di Jalur Mudik

Luhur Hertanto - detikcom

Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto meminta bantuan khusus kepada jajaran Polri untuk mengantisipasi kemacetan arus mudik Lebaran akibat penyempitan jalan.

Penyempitan jalan ini seringkali akibat pasar tumpah dan posko-posko yang meminta sumbangan pembangunan rumah ibadah.

"Saya sudah minta bantuan dengan koordinasinya nanti dari Polres setempat," kata Djoko sebelum rapat kabinet di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (3/1/2007).

Akibat pasar tumpah dan posko peminta sumbangan itu, imbuh dia, sepertiga bagian badan jalan 'hilang'. Padahal sebagian jalan sudah diperbaiki dan diperlebar hingga 4 jalur untuk memperlancar arus lalu lintas.

"Ini jadi masalah karena badan jalan tidak bisa maksimal dimanfaatkan," kata dia.

Lebih lanjut Djoko memaparkan, berdasarkan hasil peninjauannya ke lapangan atas kondisi jalur pantura, dia optimistis seluruh proyek pengerjaan jalan akan selesai sebelum hari H.

Dia mengakui ada beberapa jalur yang kemungkinan belum bisa berfungsi maksimal, seperti jalur Pekalongan-Pemalang-Tegal dan di sekitar Pamanukan- Lohbener. Jalan di kedua wilayah ini masih 3 jalur. "Tapi itu memang programnya selesai tahun depan," kata dia.
(umi/nrl===www.detik.com)

Tuesday, May 29, 2007

PALUTUNGAN

aa"Ada satu tempat bagus di Kuningan, yaitu Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri. Tapi, hati-hati, di sana angker meski banyak pengunjungnya," kata seorang teman ketika ditanya tentang tempat wisata yang menarik dikunjungi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Kepopuleran tentang keangkeran itu membuat tempat tersebut pernah dijadikan lokasi program uji keberanian yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.

Kesan mistis adanya seorang putri yang menunggu daerah itu membuat banyak pengunjung yang datang dengan berbagai alasan lebih dari sekadar berwisata. Ada yang ingin segera dapat jodoh atau pekerjaan setelah mandi di bawah curug (air terjun). Aktivitas itu akan terasa ketika mendekati bulan puasa atau hari tertentu yang dikeramatkan.

Sardjono, bekas penjaga bumi perkemahan dan curug tersebut, mengemukakan, banyak warga masyarakat dan pengunjung yang menganggap tempat itu perlu didatangi, khususnya bagi mereka yang ingin meminta berkah. Padahal, katanya, semuanya itu tidak benar. Tempat tersebut murni sebagai lokasi air terjun yang bisa dinikmati untuk melepas penat dan melupakan sejenak aktivitas sehari-hari.

"Tapi, lama kelamaan anggapan itu mengganggu juga. Banyak calon pengunjung takut datang ke sini. Mereka takut terjadi sesuatu yang buruk," kata Sardjono lagi.

Indah, tapi kalah terkenal

Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri terletak di Desa Palutungan, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Tempat wisata ini berada 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ini merupakan salah satu alternatif tempat liburan yang ada di Kuningan.

Meski mempunyai pemandangan indah, nama kedua tempat ini tidak sehebat tempat wisata lain di Kuningan, seperti Waduk Darma, Curug Si Domba, Sumur Tujuh Cibulan, Taman Purbakala Cipari, Kolam Ikan Dewa Cigugur, Gedung Linggarjati, dan Telaga Remis. Mitos keangkerannya sering kali lebih mudah dikenali ketimbang keindahannya.

Pemandangan dan aktivitas warga setempat dalam perjalanan ke lokasi itu merupakan sesuatu yang jarang ditemukan di kota besar.

Di kanan dan kiri jalan sekitar kaki Gunung Ciremai (3.078 mdpl), misalnya, banyak sekali lahan yang ditanami sayur-mayur dan budi daya sapi perah. Bahkan, jika beruntung, pengunjung bisa menyaksikan pemanenan, pembersihan sayuran, dan pendistribusian sayuran tersebut. Sementara itu, pemeluk agama Katolik, jika ingin sekaligus mendapatkan wisata religius, bisa menyempatkan diri ke Goa Maria Totombok, Cisantana.

"Tempat ini juga merupakan satu dari tiga jalur pendakian menuju puncak Gunung Ciremai. Meski merupakan jalur terpanjang, pendaki lebih memilih lewat sini karena merupakan rute paling mudah," kata Sardjono menceritakan.

Untuk bisa sampai ke bumi perkemahan dan Curug Ciputri, calon pengunjung dari Cirebon bisa melewati kota Kuningan yang berada di ketinggian 466 mdpl menuju Kecamatan Cigugur. Selain menggunakan kendaraan pribadi, pengunjung juga bisa menggunakan bus atau angkutan yang disebut travel (minibus).

Pengunjung asal Bandung bisa menggunakan bus ekonomi dengan tarif Rp 20.000 atau Rp 30.000 (bus eksekutif) menuju Cirebon. Dari Terminal Cirebon, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Kuningan yang biayanya Rp 5.000 per orang. Di Kuningan pengunjung bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum bernomor 16 jurusan Kuningan-Palutungan.

Pengunjung asal Jakarta bisa menggunakan bus ekonomi (jurusan Kuningan) dengan tarif Rp 30.000 atau bus eksekutif yang bertarif Rp 40.000. Dari Kuningan, pengunjung bisa menggunakan jalur yang sama dengan jurusan Kuningan-Palutungan. Tarifnya Rp 2.000-Rp 3.000 per orang.

"Atau, bila mau, pengunjung yang datang dalam jumlah tidak besar bisa menggunakan ojek motor setibanya di Kuningan. Meski tarif lebih mahal, Rp 10.000-Rp 20.000 per orang, pengunjung bisa merasakan langsung angin sejuk selama perjalanan," tutur Sardjono.
Sesampainya di Palutungan, pengunjung yang datang dalam jumlah besar biasanya langsung memesan tempat untuk berkemah. Namun, pengunjung dalam kelompok kecil dan tidak ingin menginap bisa langsung ke Curug Ciputri.

Sardjono menambahkan, Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri merupakan tempat di Kuningan yang sepenuhnya dibuat oleh alam. Bumi perkemahan dibuka terlebih dahulu sekitar tahun 1984, sedangkan kawasan Curug Ciputri dibuka untuk umum pada tahun 1989.
Dengan luas sekitar 9 hektar dan dikelilingi pohon pinus, bumi perkemahan menjadi tempat menarik untuk menghabiskan malam. Bahkan, bila jenuh, malam hari pengunjung bisa keluar dari area perkemahan untuk melihat gemerlap lampu Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan dari jalan Desa Palutungan.

Setelah menikmati malam, pagi harinya pengunjung bisa mandi di bawah curug yang mempunyai mata air jauh di dalam hutan Gunung Ciremai. Mereka yang ingin menikmati sensasi lebih bisa mandi di bawah curug yang ketinggiannya mencapai 12 meter.
Mereka yang ingin berendam bisa memanfaatkan bendungan air yang terdapat di undakan kedua aliran sungai.

"Jalan yang kami buat diusahakan tetap alami. Kami menyusunnya dari tanah dan bebatuan kali. Hal ini harus kami buat karena, selain jalan ini, tidak ada jalan sama sekali menuju ke bawah," kata Sardjono lagi.

Gunung Ciremai

Gunung Ciremei adalah gunung tertinggi di Jawa Barat ( 3.078 Mdpl ), dapat terlihat dengan jelas oleh para penumpang kereta api atau kendaraan umum lainnya sepanjang jalur pantura sekitar Cirebon. Untuk menuju puncak Ciremei terdapat 3 jalur yang dapat ditempuh yakni jalur Majalengka,jalur Palutungan dan,jalur Linggarjati. Jalur Linggarjati merupakan yang paling terjal dan terberat, namun jalur ini merupakan yang paling sering dilalui pendaki.

JALUR LINGGAJATI

Desa Linggajati 14 km dari kota Kuningan atau 24 km dari kota Cirebon. Dari Jakarta dapat ditempuh menggunakan bus jurusan Kuningan atau kereta api jurusan Cirebon yang disambung dengan bus atau kendaraan umum jurusan Cirebon - Kuningan.

Dari pertigaan Linggajati berjalan kaki sekitar 2,5 km menuju Musium Linggajati tempat bersejarah dimana Bung Karno pernah menandatangani perjanjian Linggarjati dengan Belanda. Terdapat pula Taman Linggajati Indah, Taman seluas 11 hektar ini dilengkapi berbagai sarana rekreasi, antara lain kolam renang dan sumber mata air Cibulakan, Silinggonom, Balong Renteng, Rekreasi air dan kolam pancing, Tempat istirahat, Cottage, Villa, Hutan wisata, Bumi perkemahan dll.

Pos penjagaan berjarak lebih kurang 500 m dari Musium Linggajati, kita perlu mendaftarkan diri serta membayar asuransi per orang Rp.3.000,- . Siapkan bekal Anda terutama air karena susah sekali memperoleh air selama di perjalanan.

Para pendaki dapat menggunakan jasa penduduk atau petugas penjaga pos untuk membimbing perjalanan mereka ke puncak. Jalur menuju puncak sangat jelas dan banyak tanda-tanda penunjuk jalan, sehingga pendaki yang baru pertama kalipun tidak akan tersesat.

Selepas dari Pos Pendaftaran dengan melintasi jalanan beraspal pendaki memasuki kawasan hutan Pinus dan persawahan hingga Cibeunar. Cibeunar merupakan area camp yang cukup kondusif buat bermalam. Area ini sangat ramai dengan para pendaki yang ingin mengadakan start pendakian, karena terdapat sumber air yang cukup melimpah, yang tidak akan ditemui lagi sepanjang perjalanan sampai di puncak. Selepas Cibeunar lintasan akan melewati perkebunan penduduk hingga memasuki Leuweng Datar.

Leuweng Datar terletak di tengah-tengah hutan tropis. Selepas daerah ini lintasan mulai menanjak dan melewati area yang cukup datar sebagai camp yakni Sigedang dan Kondang Amis . Untuk sampai di Kuburan Kuda diperlukan waktu 2 jam.

Kuburan Kuda merupakan tanah datar yang cukup luas dan cukup teduh sebagai tempat perkemahan. Daerah ini dianggap keramat bagi masyarakat setempat. Selepas Kuburan Kuda, pendaki akan melewati beberapa tempat keramat seperti Ceblokan, Pengalas. Kemudian sudut lintasan mulai membesar ketika melewati Tanjakan Bin-Bin dan semakin menanjak lagi ketika melewati Tanjakan Seruni. Lintasan ini adalah yang terberat dan melelahkan dibanding yang lainnya. Bahkan pendaki akan menemui jalan setapak yang terputus dan setengah memanjat, dan memaksanya berpegangan akar pepohonan untuk mencapai pos selanjutnya.

Selepas Tanjakan Bapatere lintasan tetap menanjak nyaris tanpa bonus sampai di Batu Lingga. Waktu yang diperlukan adalah 60-90 mennit.

Batu Lingga merupakan pos peristirahatan yang berupa tanah datar dan terdapat sebuah batu berukuran besar. Setelah kawasan ini, lintasan tetap menanjak. Di tengah perjalanan pendaki akan menemui dua pos peristirahatan berupa tanah datar yakni Kiara Baton dan Sangga Buana. Selepas itu pendaki akan memasuki batas vegetasi antara hutan dengan daerah terbuka. Untuk sampai di Pangasinan membutuhkan waktu selama 2-2,5 jam.

Pangasinan merupakan pos terakhir. Dari daerah yang cukup terbuka ini pendaki dapat menyaksikan bibir puncak yang cukup gagah berdiri di depan mata. Diperlukan waktu 45-60 menit dengan melewati bebatuan cadas dan medan yang tetap menanjak, bahkan harus setengah merayap, untuk sampai di puncak.

Kami bisa memandang melihat kota Cirebon dan laut Jawa, kapal-kapal besar nampak dikejauhan. Kearah Timur kami melihat ke Jawa Tengah, tampak gunung Slamet di Purwokerto dengan puncaknya yang tertutup awan. Puncak gunung Ciremei memiliki kawah yang sangat curam dan sangat indah, pendaki yang nekad sering turun ke kawah untuk membuat tulisan di atas lumpur kawah. Pejiarah sering datang untuk berdoa dipuncak gunung ini. Siang itu kabut mulai turun disertai gerimis, kami masih sempat mengambil foto di puncak.

Banyak sekali pendaki yang hanya berkemah di pertengahan pos dan tidak sanggup meneruskan perjalanan ke puncak, karena medan yang berat dan susahnya air, dan kembali turun, untuk itu persiapkan bekal yang berlebih dan bawalah tenda. Karena kemungkinan besar perjalanan akan tertunda, sehingga harus bermalam.

JALUR PALUTUNGAN

Palutungan merupakan sebuah kampung terakhir yang berada di lereng selatan Ciremai dan berada pada ketinggian 1100 mdpl. Dusun kecil ini masuk dalam pangkuan Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Dari Cirebon pendaki dapat menggunakan angkutan umum jenis colt elf jurusan Cikijing dan turun di pertigaan Cigugur. Perjalanan ini membutuhkan waktu selama 1 jam. Sepanjang perjalanan menuju Cigugur, pendaki akan melewati Kota Kuningan yang berada di ketinggian 466 mdpl. Setiba di pertigaan Cigugur, perjalanan dilanjutkan menuju Cisantana dengan menggunakan oplet tua. Perjalanan melalui jalanan yang menanjak dan berbatu ditempuh selama 1 jam, dengan melewati perkebunan penduduk yang sangat indah. Setiba di Cisantana, perjalanan dilanjutkan kembali dengan naik colt terbuka pengangkut sayur menuju Palutungan yang memakan waktu 20 menit.

Setelah mengurus perizinan pendakian, perjalanan dapat dimulai melalui perkebunan penduduk. Setelah itu, belok ke kanan memasuki hutan hujan tropis dengan jalur cenderung landai. Sesekali pendaki harus menyusup melalui semak-semak tinggi. Untuk sampai di Cigowong membutuhkan waktu 90-120 menit.

Pos I Cigowong terletak di ketinggian 1450 mdpl. Di sini terdapat sumber air yang mengalir membentuk sebuah sungai. Dari sini pendaki dapat menyiapkan persediaan air sebanyak mungkin karena tidak akan ditemui lagi sumber air hingga puncak. Selepas Cigowong lintasan masih landai selama 90-120 menit, sampai di Paguyangan Badak.

Paguyangan Badak merupakan area yang berada di ketinggian 1800 mdpl. Daerah yang terdapat puing-puing bangunan tua ini sering digunakan sebagai tempat bermalam survivor yang dievakuasi karena meninggal di gunung ini. Untuk sampai di Blok Arban membutuhkan waktu 30 menit, dengan lintasan yang mulai menanjak.

Blok Arban merupakan pos III dengan area yang cukup datar dan teduh. Lintasan mulai menanjak dan melelahkan selama 90-120 menit sampai di Tanjakan Asoy. Tanjakan Asoy merupakan pos IV. Tanjakan ini berupa tanah datar berukuran cukup luas. Selepas daerah ini lintasan semakin menanjak selama 60 menit sampai di pos berikutnya.

Selepas pos V (pasangrahan) pendaki mulai memasuki Vegetasi Cantigi dan Adelweiss sampai di Sang Hyang Ropoh. Lintasan ini sangat licin jika hujan turun dan diperlukan waktu 30 menit untuk sampai pada pos berikutnya.

Pos VI (Sang Hyang Ropoh) terletak di daerah yang datar dan terbuka. Selepas pos ini lintasan tetap menanjak dan licin, dengan tanah berwama kuning bekas aliran lava belerang. Pada sisi kanan lintasan terdapat goa yang biasa digunakan sebagai tempat berlindung ataupun bermalam. Di tengah perjalan ini, tepatnya pada sisi kiri, lintasan akan menyatu dengan jalur barat dari Majalengka. Untuk sampai di puncak Ciremai diperlukan waktu 2 jam pendakian. Sesampai di puncak pendaki dapat menikmati megahnya dua kawah kembar yang berdampingan. Untuk mengitari kawah ini diperlukan waktu kira-kira 3 jam. Selain itu, pendaki juga dapat menyaksikan indahnya daerah Majalengka, Cirebon, Laut Jawa, serta Gunung Slamet yang menjulang gagah di sisi timur. Sungguh Menawan!

Friday, May 25, 2007

Kuningan dan Keindahan Alamnya

Oleh Dr.ROCHAYAT HARUN M.Ed.

KABUPATEN Kuningan Provinsi Jawa Barat mempunyai luas wilayah 117.857,55 hektar, yang terbagi dalam 361 desa serta 15 kelurahan. Jumlah penduduknya 1.061.291 jiwa. Kabupaten Kuningan terletak di kaki Gunung Ciremai, sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Cirebon, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, sebelah selatan dengan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten Ciamis, serta sebelah barat dengan Kabupaten Majalengka.
WANA Wisata Talaga Remis di Desa Kaduela Kec. Mandirancan Kab. Kuningan yang sepi pengunjung. Sebagai salah satu kabupaten di Jawa Barat yang kaya dengan objek wisatanya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan telah memiliki visi Sektor Pariwisata Menjadi Andalan Perekonomian Daerah Berdasarkan Sumber Daya Alam dan Budaya yang Lestari dan Agamis Tahun 2008.*AKIM/"PR"


Daerah Kabupaten Kuningan terdiri dari: perbukitan, lereng, lembah, daratan yang indah, berudara sejuk dengan temperatur 18-30 derajat celsius, kaya dengan objek dan daya tarik wisata yang alami dan menyegarkan (natural and fresh tourism objects), serta didukung oleh kesenian daerah yang beraneka ragam (various unique traditional art).

Sebagai salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mundel (kaya) dengan objek wisatanya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan telah memiliki visi Sektor Pariwisata Menjadi Andalan Perekonomian Daerah Berdasarkan Sumber Daya Alam dan Budaya yang Lestari dan Agamis Tahun 2008. Misi pertamanya adalah Menjadikan Kabupaten Kuningan sebagai Daerah Tujuan Wisata Regional Jawa Barat.

Kuningan memiliki 18 objek wisata yang tersebar di beberapa desa, yang terdiri dari wisata budaya, alam, olah raga, agama dan lain-lain. Salah satu di antaranya adalah situs purbakala Cipari yang terletak di Kelurahan Cipari kecamatan Cigugur. Jarak dari Kuningan 4,7 km.

Situs ini ditemukan tahun 1972, berupa kuburan batu. Ditemukan pula perkakas batu, gerabah, perunggu, bekas-bekas pondasi bangunan dan bangunan batu besar yang disebut meganit. Hasil penelitian menunjukkan situs Cipari mengalami dua kali permukiman pada akhir neolitik berkisar antara tahun 1.000 SM (sebelum masehi) sampai dengan 500 M (masehi). Pada waktu itu masyarakat sudah mengenal organisasi dan pemujaan terhadap nenek moyang.

Objek wisata lain adalah Puncak Gunung Ciremai yang memiliki pemandangan indah. Ini merupakan salah satu objek wisata alam yang kini banyak dikunjungi wisatawan terutama wisatawan domestik (wisdom) atau lokal, yaitu anak-anak muda maupun anak-anak sekolah pada waktu liburan panjang. Pendakian ke Gunung Ciremai dilakukan melalui 2 jalur pendakian yaitu pertama dari arah Linggarjati. Kedua dari arah Curug Ciputri daerah Palintungan Kuningan. Sungguh suatu panorama pemandangan alam yang menakjubkan bila kita lihat dari puncak Gunung Ceremai

Melewati pedesaan Linggarjati kita bisa singgah di gedung bersejarah "Gedung Perundingan Linggarjati" yang merupakan monumen saksi hidup akan perjoangan bangsa Indonesia. Bangunan ini terletak di Desa Linggarjati Kecamatan Cilimus di kaki Gunung Ciremai bagian tenggara. Jarak dari Kota Kuningan kurang lebih 14 km daerah utara. Atau 26 km dari kota Cirebon kearah selatan.

Tanggal 11 s.d. 15 November 1946 gedung Linggarjati pernah digunakan sebagai tempat perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yang diwakili oleh Dr. Van Boer. Sedangkan dari pihak Indonesia diwakili oleh PM. Sutan Syahrir dengan anggota A.K.Ghani Soesanto Tirtodiprodjo dan Mr. Mohammad Roem. Sebagai penengahnya adalah Lord Killearn dari kerajaan Inggris. Dengan demikian, Linggarjati adalah objek wisata sejarah yang tidak bisa kita lewatkan begitu saja apabila kita berkunjung ke kabupaten Kuningan.

Objek wisata lain adalah agrowisata, yaitu panorama pemandangan persawahan dan perbukitan yang indah, serta diselingi kelompokan rumah-rumah tradisional petani dipedesaan yang cukup memesona dan unik. Tentunya terutama bagi wisatawan mancanegara (wisman). Saya kira tidak akan kalah dengan agrowisata sawah di Thailand, maupun objek wisata alam Niagara Fall dan Grand Canyon di AS.

Demikian pula industri-industri tradisional yang mengolah beberapa produk petanian (selain padi) yang terkenal dari Kuningan antara lain tape beras ketan (peuyeum) Cijoho, bawang goreng Garawangi, tepung ubi jalar (boled), serta jeniper singkatan dari jeruk nipis peras, minuman segar khas kabupaten Kuningan. Semua olahan produk pertanian tersebut, diberitakan telah benar-benar go public bahkan go international, diekspor ke luar negeri.

Beberapa contoh objek wisata di atas, hanyalah sebagian saja dari 18 objek wisata yang berada di Kabupaten Kuningan. Kiranya Kabupaten Kuningan memiliki banyak objek wisata yang cukup menarik dan potensial untuk dipasarkan. Sayang sekali, objek-objek wisata di kabupaten Kuningan belum tertata dan dikembangkan secara baik yang memiliki standar kepariwisataan. Jumlahnya pun masih belum pasti. Informasi dari Disbudpar Jabar, Kabupaten Kuningan memiliki 11 objek wisata. Padahal ternyata memiliki lebih dari 18 objek wisata.

Sama halnya dengan kabupaten lain di Jawa Barat, dalam membina dan mengembangkan kepariwisataan, kabupaten Kuningan memang menghadapi berbagai kendala, antara lain kurangnya anggaran baik untuk penggalian, renovasi, pemeliharaan serta honor petugas yang memang sangat minim. Demikian pula tidak adanya standardisasi ODTW (objek dan daya tarik wisata), yang merupakan parameter atau ukuran, baik tidaknya suatu objek wisata.

Dr. Herman Bahar, pakar Pariwisata dari STPB, mengakui bahwa memang di Indonesia belum ada standar ODTW, baik di tingkat nasional maupun provinsi sehingga agak sulit untuk menilai apakah sebuah ODTW di suatu kabupaten sudah terstandardisasi ataukah belum. Herman Bahar menyarankan, sebaiknya provinsi harus sudah memiliki standar ODTW yang berdasarkan data empiris maupun teoretis. Adanya standardisasi ODTW diharapkan menjadi rambu-rambu bagi pengembangan kepariwisataan di seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat.

Sebetulnya Kabupaten Tasikmalaya sudah memiliki standar ODTW. Tertuang dalam Renstra Kabupaten. Itu pun belum seluruh persyaratan (parameter) menurut ukuran internasional. Namun bagaimanapun Tasikmalaya telah mempunyai standar ODTW kabupaten antara lain seperti tersedianya pintu masuk dan ticket box, memiliki MCK yang memadai, serta pelayanan terhadap pengunjung objek wisata.

Dari uraian pencermatan objek wisata di Kabupaten Kuningan di atas, ada beberapa catatan kecil untuk menjadikan pemikiran kita bersama, antara lain:

Pertama, hingga saat ini Indonesia belum berhasil mengembangkan produk-produk pariwisata berskala luas yang diadaptasikan pada permintaan potensial maupun penciptaan citra tujuan beragam pariwisata. Meskipun pariwisata dalam negeri terkadang dipertimbangkan di dalam penetapan kebijakan dan program, tetapi tidak dipertim-bangkan di dalam eratnya pariwisata internasional.

Kedua, kondisi manajemen pengembangan pariwisata institusional memiliki kelemahan koordinasi beragam pelaku dan level kualifikasi stafnya. Kelemahan profesionalisme para pejabat pemerintah khususnya tingkat daerah (dekonsentrasi dan desentralisasi) sebagian disebabkan kesukaran mengatasi perubahan pesat industri pariwisata, baik pada level nasional maupun internasional.

Ketiga, berbagai keterbatasan dalam pembangunan dan perencanaan produk wisata masih terjadi disebabkan hubungan pemerintah-swasta secara sinergis belum terwujud. Kemandirian swasta harus dapat terwujud tanpa terpengaruh oleh keutuhan yang bersifat unity.***