Tuesday, October 2, 2007

Tradisi ”Maleman” di Keraton Kasepuhan

SEMERBAK aroma wangi ukup (semacam wewangian alami) tiba-tiba menyergap begitu "PR" memasuki bangsal pergelaran yang berada di areal paling belakang kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, Selasa (2/10) pagi.

Sekelompok ibu-ibu famili Keraton Kasepuhan terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tidak terdengar celotehan khas ibu-ibu saat berkumpul. Masing-masing seperti asyik dengan kegiatannya. Ada yang memasukkan minyak maleman dalam botol dan ada yang memasukkan ukup dalam guci-guci keramik kuno yang berusia ratusan tahun. Sementara sebagian lainnya sibuk memilin kapas, membentuk sumbu sepanjang hampir 30 cm.

Menurut R.A.S. Syarifa Isye, istri putra mahkota P.R.A. Arief Natadiningrat, S.E., saat meracik ukup dan minyak maleman serta memasukkannya ke wadah guci dan botol. Mereka memang lebih banyak melantunkan selawat Nabi dalam hati masing-masing.

"Tradisi meracik ukup dan minyak maleman seperti ini kan sarat makna religius, sehingga kami pun melaksanakan kegiatan ini dengan semestinya yakni dengan dibarengi membaca doa, zikir, dan selawat," ujar Isye yang kebetulan kebagian mengikat guci-guci keramik itu dengan rumput yang sudah dikeringkan.

Menurut Isye, minyak maleman, ukup, dan pilinan kapas itu merupakan bagian dari perangkat ritual atau tradisi maleman. Tradisi maleman, menurut dia, adalah tradisi untuk menyambut malam Lailatulqadar yang menurut kajian ulama jatuh pada malam sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan.

Bagi umat Islam, mendapatkan malam Lailatulqadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan merupakan impian seumur hidup. Tidak semua Muslim bisa mendapat malam yang disebut oleh Allah SWT sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Dalam surat Al-Qadr 1-5, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran pada malam Lailatulqadar, tahukah engkau apakah malam Lailatulqadar itu? Malam Lailatulqadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala urusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar."

Menurut putra mahkota Arief Natadiningrat yang juga anggota DPD, begitu pentingnya arti mendapat malam Lailatulqadar bagi umat Islam, sampai wali Allah, Sunan Gunung Djati berupaya mengejawantahkan malam penuh rahmat tersebut dalam simbol-simbol penuh makna.

"Pada sepuluh hari terakhir, terutama pada malam-malam ganjil yang disebut banyak ulama sebagai malam Lailatulqadar, Sunan Gunung Djati menyalakan dlepak dengan minyak maleman dan membakar ukup. Tradisi itulah yang kemudian turun-temurun sampai saat ini," katanya.

Dlepak adalah wadah berupa piring dari tembikar yang diisi minyak maleman untuk menyalakan sumbu dari kapas yang sudah dipilin. Minyak maleman adalah minyak kelapa yang digodok kembali dengan tambahan kembang tujuh rupa untuk memberikan efek aroma harum.

Sedangkan ukup adalah wewangian semacam dupa yang dibuat dari campuran pohon cendana, akar wangi, gula merah, sejumlah rumput kering, dan rempah-rempah. Untuk membakarnya, ukup cukup ditebarkan di atas bara api yang biasanya dinyalakan dalam tungku.

Menurut Arief, seperti halnya tradisi lainnya, tradisi maleman yang ditandai dengan penyalaan dlepak dan pembakaran ukup, juga sarat simbol dan makna filosofis.

Makna yang ingin disampaikan dengan penyalaan dlepak yakni turunnya rahmat Allah SWT sudah seharusnya disambut dengan persiapan fisik dan batin.

Suasana yang terang benderang dan wangi menggambarkan makna kesiapan rohani yang terang dan bersih dalam menerima rahmat Allah. "Diharapkan dengan hati yang bersih dan terang, sebagai manusia kita bisa menebarkan keharuman atau manfaat kepada banyak orang," kata Arief.

Tradisi maleman akan diakhiri dengan hajat maleman pada malam ke-29 bersamaan dengan tradisi khataman kedua di langgar alit. ”Pada saat itulah akan dibagikan makanan alakadarnya yang disebut nasi bogana atau saboga-bogana kepada warga sekitar keraton dan makam Sunan Gunung Djati," kata Arief.

Selain di lingkungan Keraton Kasepuhan, dlepak dan ukup serta minyak maleman didistribusikan juga ke makam Sunan Gunung Djati dan 16 situs peninggalan Kesultanan Kasepuhan yang berlokasi di sekitar Cirebon.

Rombongan juru kunci yang membawa perangkat tradisi itu rela berjalan kaki sejauh 10 km dari Keraton Kasepuhan menuju makam Sunan Gunung Djati. (Ani Nunung/"PR")***